Dinamika Politik Jakarta Paska Pemindahan Ibu Kota
Meskipun masih terdapat keraguan dari sejumlah kalangan mengenai jadi-tidaknya ibukota Jakarta dipindahkan ke Kalimantan Timur (Kaltim), pastinya Presiden Joko Widodo sudah mengumumkannya pada Jumat (16/8/2019) kemudian dipertegas lagi pada Senin (26/8) di Istana Presiden, Jakarta Pusat. Daripada kita berpolemik terus mengenai isu perpindahan tersebut, akan lebih baik mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi Jakarta dengan status barunya nanti tanpa embel-embel ibukota dan pusat pemerintahan Republik Indonesia (RI).
Berbagai persiapan yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat tersebut tentu harus komprehensif, holistik dan integral. Selain lokasi pemindahan, juga menyangkut desain/rancang bangun ibukota baru, dana, sumber daya manusia, dan sebagainya. Sementara dari pihak ‘penguasa’ Jakarta, Gubernur DKI Anies Baswedan akan mempercepat penerapan konsep urban regeneration. Pelaksanaannya dibagi ke dalam tiga fase, yakni jangka pendek (2019-2022), menengah (2022-2025) dan jangka panjang (2025-2030).
Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, Anies mengatakan sudah direncanakan alokasi anggaran Rp. 571 triliun. Skema pendanaannya disiapkan Pemprov DKI, Kementerian Keuangan, Kantor Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Perencanaan Pembangunan, dan Kementerian Perhubungan. Kedepan, kata Anies, Jakarta akan terus dikembangkan jadi kota bisnis, kota keuangan, pusat perdagangan, pusat jasa berskala regional dan global.
Dampak Politik
Secara makro, rasanya tidak mungkin Presiden Jokowi melakukan gambling dengan pernyataannya memindahkan ibukota, melainkan setelah melakukan kajian matang dari berbagai aspek. Sekalipun demikian, perpindahan ibukota ke Kaltim akan mengakibatkan sejumlah dampak politik lokal di Jakarta yang patut dicermati. Diantaranya, pertama, dengan meminjam pendapat jurnalis senior Hersubeno Arief, sedikit banyak mengurangi terjadinya matahari kembar. Tidak sebelumnya seperti ada poros Presiden RI dan poros Gubernur DKI (Anies).
Kedua, Pilkada DKI ke depan tidak akan lagi seperti Pilkada DKI sebelumnya, terlebih lagi Pilkada DKI 2017 yang dianggap memiliki rasa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), sehingga selurah sorotan publik dan liputan media massa nasional maupun internasional terfokus sepenuhnya ke Jakarta. Kedepannya bukan tidak mungkin Pilkada Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah atau Kaltim menjadi sorotan publik dan media luas dibandingkan atau setidaknya setara dengan Pilkada DKI.
Ketiga, Jakarta tidak tidak lagi menjadi satu-satunya destinasi politik nasional yang diburu oleh kalangan aktivis politik yang ingin karir politiknya mentereng. Sebaliknya, terbuka peluang destinasi politik lainnya di luar Jakarta, terutama di kota-kota besar seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan tentu Kaltim jika sudah secara de jure dan de fakto menjadi ibukota negara RI. Hal ini berakibat aktor-aktor politik akan mengalihkan perhatiannya ke luar Jakarta, dan tidak hanya berkutat di Jakarta.
Keempat, pemburu rente politik atau kaum oligarkis tidak lagi menjadikan Pemilu atau berbagai proses pergantian pada organisasi politik, sosial atau keagamaan di Jakarta sebagai fokus utama dalam menanamkan investasi modal dengan harapan suatu saat akan kembali lagi dalam bentuk kemudahan perizinan, kompensasi proyek dan peluang bisnis. Melainkan juga akan melakukan investasi modal politiknya ke berbagai daerah lainnya, khususnya ke Kaltim.
Kelima, pemindahan ibukota Jakarta ke Kaltim diperkirakan juga akan berdampak relasi antara pemerintah pusat khususnya presiden RI dengan Pemprov DKI khususnya gubernur DKI lebih cair dan tanpa beban. Tidak seperti saat ini ini, relasi komunikasi tersebut seperti mengalami hambatan psikologis. Diantara penyebabnya, sangat mungkin karena Presiden Jokowi pernah memberhentikan Anies dari kabinet pemerintahannya, serta bias Pilpres 2019 dimana Anies secara afiliasi politik bersebrangan dengan Jokowi.
Keenam, relasi antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI paska Pemilu 2019 masih sulit ditebak. Jika mencermati konfigurasi jumlah keanggotaan di DPRD DKI, dari 106 anggotanya sebanyak 52 orang anggota berasal kubu pemenang Pilpres 2019 (Jokowi). Sisanya atau 54 orang lainnya berasal dari kubu Prabowo yang notabene sehaluan politik dengan Anies. Apakah dengan demikian, relasi eksekutif dengan legislatif di DKI akan terjadi sinerjis, check and balances atau sebaliknya terjadi distingsi dan disharmoni yang makin tajam? Suatu kemungkinan yang semuanya bisa terjadi.
Ketujuh, salah satu partai politik baru yang diperkirakan akan memainkan perannya secara atraktif adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Suatu pemanasan politik sudah dilakukan oleh anggota DPRD DKI dari PSI ketika menolak pemberian pin emas saat pelantikan anggota DPRD DKI Periode 2019-2024 dengan alasan pemberian tersebut tidak ada kaitannya dengan kinerja Dewan. Apakah sikap oposisi dari PSI tersebut akan berlaku permanen untuk segala isu atau agenda pembahasan di DPRD atau terkait dengan kebijakan Gubernur DKI? Belum tentu juga. Kita lihat saja nanti.
Chintia Arnita (1730303006)
Komentar
Posting Komentar