Sunyi

Hening tanpa gerak. Udara pagi dingin menusuk tulang. Sosok gelap bergerak kian kemari, berusaha tidak memecah diamnya subuh. Kompor menyala biru, memanaskan rendang untuk teman santap memulai ibadah puasa. Sambil mengatur piring di ruang keluarga, tangan-tangan itu terampil membagi tugas.



“Abaaangg, bangun!! Sahur!!” perempuan paruh baya menanggalkan mukena, melipat sajadah kemudian mengetuk pintu kamar anak pertamanya. Gerutuan tak jelas terdengar, disusul gaduh orang bangun tidur. Sosok gelap tadi duduk membelakangi jendela, membagi nasi ke piring sama rata. Perempuan paruh baya duduk dihadapannya, mengoceh perihal puasa pertama yang sunyi. Suaranya yang nyaring berhasil menyingkirkan kantuk yang masih satu-dua menggelayut.
Sahur itu dimulai pukul 04.00 WIB, Jumat (24/4) lalu. Sesekali terdengar panggilan sahur dari masjid-masjid, walau tidak seriuh puasa sebelum-sebelumnya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, jalan raya Batusangkar-Bukittinggi itu sepi dari keramaian puasa. Jika dulunya anak-anak bergendang keliling kampung, kini nihil. Jangankan anak-anak, kendaraan yang biasa lewat saja tidak terdengar sama sekali.
Tidak banyak kegiatan yang tampak di lingkungan tersebut. Hingga azan berkumandang, barulah terlihat sedikit keramaian. Sebagian orang bergerak menuju masjid. Entah itu masjid kompleks, masjid tepi jalan, bahkan masjid perkampungan. Menenteng sajadah, langkah kaki pelan terdengar.
Lepas shalat subuh, suasana kembali senyap. Tidak beda dengan beberapa hari sebelumnya. Sejak pandemik COVID-19 merebak, memang tidak ada warga yang bergerak keluar rumah sesuka hati. Anak-anak sekolah menonton TVRI, mahasiswa tekun melihat layar ponsel untuk ikut kuliah. Tidak ada waktu untuk keluar rumah, apalagi sejak terbitnya aturan PSBB. Tambah sunyi saja keadaan di Sijangek itu.
Menjelang maghrib, baru terlihat beberapa orang keluar rumah. Membeli takjil atau buah-buahan. Sirine besar dari masjid memberitahu waktu berbuka. Masuk waktu isya, keadaannya sama saja seperti subuh tadi. Sunyi. Jalan menuju masjid terdekat gelap gulita. Lampu jalan besar itu memang sudah kedip-kedip sejak awal bulan lalu. Siapa sangka malah malam ini kehabisan daya.
Jamaah di masjid tidak seberapa. Satu shaf saja tidak penuh. Tambah lapang ruang masjid berlantai keramik itu. Jika dulu sesak oleh warga komplek, kini malah seperti tidak ada yang mengunjungi.
“Banyak betul halangan sejak COVID-19 ini. Padahal lingkungan kita tidak ada masalah apa-apa,” cerita Helmiwati (55), perempuan paruh baya yang disebut diawal tadi. Ia bahkan sudah berkeliling ke masjid-masjid, melihat mana yang mengadakan tarawih. Namun memang tidak ada yang meramaikan.
Hampir sepekan puasa Ramadhan ini berlangsung, masih saja tidak semarak seperti Ramadhan sebelumnya. Paling ya, sorakan sahur di pagi hari. Pengajian dan ceramah memang tidak dilaksanakan di masjid. Semuanya pindah ke rumah masing-masing. Meski tengah dilanda pandemi, bukankah akan lebih baik menyemarakkan sedikit bulan suci yang hanya datang sekali setahun ini?
Imro Atur Rodhiyah (1730303012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEMINAR DESAIN GRAFIS BERBASIS BISNIS YANG DIADAKAN OLEH HIMPUNAN MAHASISWA PROGRAM STUDI JURNALISTIK ISLAM

REVIEW FILM JOKER

USIA LANJUT, PAIMIN TETAP EKSIS BERJUALAN