Diri yang Terlupakan
Keluarga adalah
penyambung, pendengar keluh kesah, derita, kebahagian dan tempat pencurahan
segala kekeliruan. Saya bernama Jamiatul Maharani, memiliki saudara bertiga,
dan saya anak nomor dua dalam keluarga. Pengalaman hidup saya mungkin sangat
berbeda dengan teman-teman diluar sana.
Kami dari empat bersaudara, hanya saya yang memiliki sifat dan kepribadian berbeda. Waktu kecil saya dikenal dengan seorang wanita separuh laki-laki, sebab keseharian saya berpakaian ala laki-laki, gaya rambut pendek, bahkan setiap perhiasan yang dipakaikan ke diri saya cepat sekali hilang dan tidak bertahan lama. Dikeluarga saya juga dikenal anak yang sangat pelawan pada orang tua. Saya lebih suka mencari kesenangan hidup saya sendiri dari pada mendengarkan kata orang termasuk orang tua. Ketika saya Sekolah Dasar 2 Tahun di Pekan baru, Kabupaten Palalawan, saya hanya dikelilingi oleh teman laki-laki. Pergi pagi sekolah pulang pukul 17:00 WIB tiap hari. Yang sebenarnya jadwal pulang sekolah kelas 1 dan 2 SD itu sekitar jam 12 sudah pulang. Nah saya tidak.
Kenakalan saya
sangat dihafal betul oleh orang tua saya. Mereka tidak akan pernah jera
memberikan hukuman agar saya jera. Dalam hal ini, hukuman sedang seperti di
kasih cabe rawit, di pukul tali pinggang (tidak terlalu keras) akibat ulah saya
sendiri. Saya tidak marah akan hal itu, malahan itu wajar saya mendapatkannya.
Nah, ketika saya
beranjak naik ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, saya harus
menjalani yang namanya tes membaca Al-Qur’an dan Shalat. Ketika itu saya sama
belum terbilang lancar, hingga akhirnya saya dimasukin di TPA/TPSA, yaitu
tempat belajar mengaji yang dibimbing langsung oleh guru ngajinya. Wah wah,
disana aku merasa orang yang terkutuk. Tidak ingat akan umur, anak kecil
dibawah saya ternyata sangat lancar membaca yang menjadikan saya malu sebalik
pinggang.
Namun itu belum
mematahkan semangat saya untuk berani mencoba terus belajar membaca iqra’ baru
ke juz ‘amma dan baru bisa nyambung ke Al-qur’an. Ketika saya sudah bisa lancar
membaca Al-Qur’an, saya dicalonkan untuk mengikuti lomba-lomba mengaji antar
TPA, lalu antar kecamatan hingga bisa mengikuti tingkat provinsi dengan berbeda
cabang. Biasanya Tartil, kadang Tilawah dan Kadang Pidato Musabaqah Syarhil
Qur’an.
Lalu selama 2
tahun di jenjang pendidikan SMP, saya merasakan ada perbedaan dalam diri saya.
Saya seperti dikelilingi oleh orang-orang gaib dan ternyata memang saya bisa
melihatnya. Awalnya saya tidak percaya, sampai ketika di Madrasah Aliyah, saya
pernah kerasukan. Orang-orang menjadi jauh dan takut dengan saya. Saya sendiri
juga merasakan ketidak enakan hidup atau melihat hal-hal yang sama sekali tidak
saya inginkan.
Keluarga, sanak
saudara, guru ngaji dan yang lainnya selalu memberikan saya kode untuk tetap
semangat menjalani. Mereka bilang anggap hal tersebut sebagai suatu
keistimewaan dalam diri kita, tapi jangan sampai menimbulkan bencana dan bahaya
untuk diri. Pesan itu selalu terngiang dan teringat selalu.
Jadi, pengalaman
sebenarnya masih banyak yang tidak bisa dicerikan. Intinya adalah, tidak semua
orang bisa memahami kita. Maka jangan lupa untuk bercermin dan intropeksi
kembali diri kita. Tanyakan pada diri kita tersebut. Serta pikirkanlah secara
matang sebelum kamu ingin berucap. Sebab orang hanya menilai kita dari sisi
luar pola sikap kita saja, dan hanya langsung tampak di mata saja, tanpa
menanyakan terlebih dahulu apahal yang sebenarnya terjadi.
Penilaian orang
akan lebih membunuh pikiran dan batin manusia. Dan hal tersebut akan selalu
terekam dalam benak manusia. Maka sifat asli manusia hanya bisa menilai dan
menyalahkan, tetapi tidak mau mengintropeksi akan kesalahan dalam dirinya. Oleh
sebab itu, pengalaman kesusahan, kebahagian, hanya kamu yang menjalani. Ingat!
Banyak orang disana yang lebih susah dan menderita darimu, tetapi mereka tetap
tegar. Sedangkan dirimu masih menyia-nyiakan suatu hal yang seharusnya bisa
dipertahankan untuk tetap tegar.
Semua yang saya
sampaikan ini, adalah kisah yang benar-benar terjadi dalam hidup saya. Saya
sampai sempat berpikiran mencampuri urusan orang. Serta membanding-bandingkan
saya dengan orang lain. Maka saya belajar mengubah pola pikir dan manajemen
hidup saya. Lingkungan akan membawa perubahan dalam hidup, jika kita tidak
berpandai-pandai untuk memilahnya. Maka hati-hati. Ambil keputusan itu
selesaikan dengan kepala dingin, dan jangan langsung mengebrak. (JM)
Komentar
Posting Komentar