Kehidupan
Orang hanya mampu melihat dan menilai. Hampa terasa ketika manusia tidak ikut campur dengan masalah orang lain. Rasa penasaran mereka selalu terjalin. Bukan mengenal kepribadian yang berbaur positif, namun lebih cendrung dengan kesalahan atau nilai negatif yang ada dalam diri orang lain.
Saling menjatuhkan, membicarakan keburukan orang lain ini menjadi makanan tiap mulut setiap orang. Laki-laki dan perempuan tiada bedanya. Namun ketika ada diantara mereka yang bersalah, malah berperilaku seolah tidak pernah berbuat yang demikian. Hal ini menjadikan diri manusia seperti bunga yang indah tetapi baunya seperti bangkai. Sedikitpun tidak ada berfaedah.
Bukan untuk mengintropeksi dan mengontrol emosi, malah menjadikan ladang timbulnya pertikaian. Manusia yang berbuat malah tidak merasa bersalah telah melalukan. Dengan bangga diri mereka memproklamirkan inilah SAYA. Tapi hasilnya nihil dan tak bernilai. Jangankan ilmu pengetahuan yang dimiliki, jika adab yang mereka hapuskan. Maka tidak ada kebaikan dan kebahagian yang bergema. Mirisnya negara Indonesia saat ini dilanda dengan rasa keegoisan dan hanya mengandalkan kekuasaan. Seseorang hanya dinilai seperti uang. Berbondong-bondong berburu untuk saling merebut, bahkan rela saling menikam orang lain yang tidak terlibat.
Apa yang mereka banggakan? Hal tersebutlah? Disebabkan satu kaum saling merendah dan menghabiskan, menjadikan negara sebagai wadah kehancuran. Negara dipandang ketika negara berhasil menciptakan tenaga rakyat dengan amanah tanggung jawab, saling menghormati, dan saling mengokohkan. Maka negara itu akan terpandang.
Bimbang akan takut dikalahkan, malah merubah pola pikir serta tindakan manusia kearah yang tidak berpendidikan. Dunia pendidikan yang seharusnya ladang ilmu mengubah karakter dan daya pikir manusia, malah tergusur menjadi ladang yang memprioritaskan keangkuhan dan kepemilikan. Ketika mereka telah berposisi paling atas, ia tidak akan mengenal namanya orang yang membantu. Seakan-akan dirinya telah memperolehnya dengan hasil kerja dan usahanya sendiri.
Na'uzubillah. Bumi sebesar tetesan air yang dicelupkan lalu diangkat, menjadikan manusia untuk berlomba-lomba mengejarnya dengan berbagai cara. Manusia menjadi lupa alasan utama ia diciptakan ke bumi untuk apa. Belajarlah dari alam yang selalu berirama dan menebarkan pesona kenyamanan, bukan terfokus pada kebanggaan semata. Hormatilah setiap apa yang ada dalam diri manusia, maka alam juga akan menghormati. Sebab hukum alam itu ada, dan akan terus berputar di kehidupan. Jika hukum itu berlaku, maka hanya penyesalan yang akan menjalar. Maka jangan sampai dirimu menyesal kemudian. Tetap pikirkan secara matang apa yang akan diperbuat, tentukan rancangan hidup kedepannya. Boleh termotivasi untuk hal kebaikan dari orang lain, namun jangan sampai saling menjatuhkan antar sesama. (JM)
Komentar
Posting Komentar